27.9.13

Saatnya Melatih anakku Berpikir-Toge Aprilianto

Judul: Saatnya Melatih anakku Berpikir
Pengarang: Toge Aprilianto
Penerbit: Brilian Internasional, 2010
Tebal: xvii+ 142 hal,14x21 cm
ISBN: 978-979-16702-7-2

Buku ini booming banget di milisnya parenThink, jujur aku rada roaming pas ngikutin milis tersebut karena belum baca buku ini. Inti yang aku pingin pelajari dari buku ini adalah tentang rute asuh-didik Toge. Buku ini terdiri dari 4 bab, bab pertama menjabarkan mengenai parenting-kaitannya dengan mengasuh dan mendidik. Sebelum bisa mengasuh dan mendidik anak dengan baik, kita perlu mendewasakan diri kita terlebih dahulu. Nah masalah pendewasaan ini Toge lebih menjelaskan di buku ‘Kudidik Diriku Demi Mendidik Anakku’. Ada 3 faktor yang mempengaruhi, yaitu factor fisik(sehat, bersih, terawat), factor kognisi(kesiapan berpikir), dan factor emosi(siap dengan konsekuensi ketika memilih yang gak enak).
Bab kedua membahas tentang keterampilan hidup. Dalam hidupnya, anak perlu diajarkan keterampilan hidup sedari dini. Keterampilan itu antara lain, memahami dan menghargai diri, merawat diri, menyelamatkan diri, menghadapi perubahan, menjalin relasi social, belajar, memanfaatkan pengetahuan, membuat keputusan dan menyelesaikan masalah, serta berkaya.


Nah, bab ketiga ini baru deh intinya buku ini. Tentang rute pengasuhan-pendidikan Toge. Rute ini dibagi berdasarkan usia:

Usia 0-2 tahun: membangun rutinitas
Membangun rutinitas ini dimaksudkan sebagai dasar pembentukan sikap disiplin. Perlu konsisten namun juga ga saklek dalam menerapkan jadwal pada anak(makan, mandi,tidur). Usia 0-2 tahun tidak boleh terlalu banyak aktivitas insidental karena akan sulit untuk membentuk kebiasaan untuk kedisiplinannya.

Usia 1-3 tahun: Membangun keterampilan memilih
Keterampilan mendasar  dalam memilih adalah memilih enak vs tidak enak. Bila anak sudah bisa memilih hal yang enak, berarti dia sudah bisa dilatih dengan keterampilan memilih. Contoh: pilih gendong atau jalan, kalo sudah bisa milih tentu pilih gendong, tapi kalau belum bisa memilih akan pilih jalan(bila belum bisa milih cenderung memilih pilihan terakhir).
Selanjutnya memilih enak vs enak. Ini melatih anak untuk tidak serakah memilih semua yang enak. Contoh: milih makan es krim atau coklat
Bila sudah mahir memilih salah satu diantara dua hal yang enak, selanjutnya memilih tidak enak vs tidak enak.  Contoh: mau dimandikan ibu atau mandi sendiri. Kalo ternyata dia memilih tidak mandi, artinya kita yang memilihkan untuknya. Salah satu diantara dua pilihan yang tidak enak itu tetap dipilih. Nah, bila sudah mahir, anak kemudian akan mengajukan alternative pilihan lain.

Usia 2-4 tahun: membangun keterampilan menawar(sebagai pembeli)
Oh ya, inti rute asuh didik Toge ini menekankan pada kemampuan berdagang, sebuah filosofi kalau sedari kecil anak harus diajarkan bahwa segala sesuatu ada harganya, seperti di supermarket. Tapi harga disini bukan uang ya..
Nah lanjut ke keterampilan menawar ini, jadi anak belajar menjadi ‘pembeli’ dahulu. Kalau sudah mahir baru dilanjutkan ke peran ‘penjual’.  Untuk melatih keterampilan membeli, tetap lakukan3  aktivitas memilih (enak vs tidak enak, enak v enak, dan tidak enak vs tidak enak). Beri kesempatan untuk mengajukan alternative baru. Dan beri kesempatan dia untuk mendapatkan alternative yang dimaui dengan syarat tertentu. Bila dia menolak syarat itu, berarti dia tidak boleh mendapatkan alternative yang diajukan
Nah, orang tua dalam mengajukan pilihan, jangan juga member alternative yang tidak masuk akal. Misal ketika anak rewel, terus diberikan pilihan: kamu diam atau ibu tinggal disini. Ini alternative yang ga bagus karena kita ga mungkin menjalankan alternative kedua. Kalopun kita tega melakukannya, itupun tidak dianjurkan, karena anak hendaknya diberikan pilihan yang tidak membahayakan dirinya(ditinggal sendiri adalah hal yang membahayakan)

Usia 3-5 tahun: Membangun Keterampilan Menawar sebagai penjual
Keterampilan menawar sebagai penjual ini adalah ketika anak mulai memberikan alternative pada orang tuanya. Missal dia mau nonton TV, dia akan mengajukan penawaran akan makan dan mandi, agar keinginannya nonton tv bisa dipenuhi. Biasanya keterampilan ini terbentuk tak lama setelah diajarkan keterampilan membeli. Karena dia mulai belajar bahwa dia perlu melakukan ‘sesuatu’ agar keinginannya terwujud. Nah, catatan orang tua,jangan sampai anak melakukan suatu hal yang belum disepakati orang tua dan menyebutnya sebagai ‘sudah memenuhi syarat’ karena syarat itu harus disepakati dahulu dengan kedua belah pihak baru bisa berlaku.

Usia 4-6 tahun: Membangun keterampilan berdagang(win-win transaction)
Focus utama tahapan ini adalah upaya menjelaskan bahwa tiap orang punya keinginan dan tiap orang mendapatkan yang diinginkan. Adalah hal yang wajar bila mendapati orang lain tidak menuruti keinginan/ penawaran kita. Jangan pernah memaksa orang lain mengikuti mau kita.

Usia 5-7 tahun: Membangun keterampilan memperjuangkan keinginan
Di usia ini anak diharapkan makin paham bahwa segala yang ia inginkan selalu mungkin ia dapatkan bila melakukan syarat yang menyertainya. Seperti dia ingin jadi dokter, dia akan siap dengan syarat dia harus rajin belajar agar keinginannya tercapai. Keinginan ini boleh berubah2. Jangan dipermaslahkan. Hanya saja anak akan paham konsekuensinya bila menjalankan keinginan secara tidak tuntas.

Usia 6-8 tahun: Membangun keterampilan menghadapi resiko(mengalami akibat)
Pada tahap ini anak sudah perlu menghadapi resiko atas keputusan yang dibuat. Dampingi anak menghadapi resiko tersebut. Karena pada usia tersebut anak belum memiliki kepekaan terhadap resiko.
Contoh bila ia berkelahi, kita cukup bertanya “karena kama tahu berkelahi bukan cara menyelesaikan masalah, maka selama seminggu kedepan kamu ga boleh main computer”. Bila mengeluh dan mengajukan penawaran, pastikan strategi kita benar agar kita tidak ‘kalah’ dari anak.

Usia 7-9 tahun: Membangun Keterampilan Menghadapi Resiko (Mencoba Solusi)
Setelah terampil menghadapi resiko, anak akan berhati-hati dalam memilih. Pada tahap ini anak akan dihadapkan pada beragam situasi yang ternyata menyajikan beragam solusi. Tahapan ini penting karena diharapkan anak terbiasa memikirkan cara menghadapi solusi, bukan terjebak pada kebiasaan menyerahkan diri pada nasib.
Contoh: anak kita(A) membiarkan (B) meminjam mainannya. Ketika pulang, si B menolak untuk mengembalikan. Pada situasi ini, A bisa diberikan alternatif: a. Membiarkan B main, nanti minta tolong ortunya balikin mainan tersebut,b. Mainan tersebut dianggap ilang, c. A dibelikan mainan baru, d. si A bisa saja rebut mainan itu, toh itu mainannya..dan masih banyak alternatif lain. Apapun yang dipilih A, dia akan merasakan akibat dari pilihannya tersebut. Akan terjadi kekecewaan dan luapan emosi ketika solusi yang dipilih ternyata tak menyenangkan,biarkan emosinya diluapkan, namun  fasilitasi anak agar tidak menyakiti dirinya. Emosi sebaiknya jangan ditahan/diredam kerena bisa buat penyakit. Emosi itu harus dikelola, dirubah kemasannya(misal teriak di bantal). Dengan begitu kita akan merasa lega dan rileks

Usia 8-10 tahun: Membangun Keterampilan Menghadapi Resiko(Membangun Solusi)
Prinsip pengasuhan-pendidikan ini dimaksudkan untuk member bekal agar anak-anak dapat hidup sebagai anggota masyarakat.  Jadi sebagai orang tua kita jangan sibuk memikirkan yang enak buat diri sendiri. Karena kalo gitu, kita akan susah bila dituntut memikirkan yang enak buat orang lain.
Dalam membangun keterampilan menghadapi resiko dengan membangun solusi, contoh kasus A meminjamkan mainan pada B, kita tidak lagi memberikan alternatif lagi, namun anak dibiarkan menemukan solusinya.

Usia 9-11 tahun: Membangun Keterampilan Menghadapi Resiko(Memeriksa Solusi)
Pada tahap ini anak mulai disajikan table untung-rugi. Gunanya agar dia mampu menghadapi situasi tidak enak tanpa lalu mengobarkan kepentingan orang lain. Diharapkan ia sanggup bersepakat dengan orang lain dan menjalin relasi social yang konstruktif.
Selain diajarkan untung rugi, anak diajarkan untuk analisis ego. Cara analisis ego.
Tahap keluhan: Keluhan adalah situasi yang tidak enak sehingga membuat tidak nyaman
Tahap masalah: Setelah mengeluh, analisis apakah keluhan ini benar-benar merupakan masalah
Tahap keinginan: bila sudah ditemukan apa pokok masalahnya. Pastikan ia menyatakan ingin menyelesaikan masalahnya, mengupayakan diri untuk melakukan hal-hal yang perlu dilakukan agar masalahnya tuntas
Tahap bukti: dalam kasus mainan A, bukti bahwa A sudah menyelesaikan masalahnya adalah bila A sudah mendapatkan mainannya
Tahap keyakinan: misal dalam kasus mainan, si A yakin kalau ditungguin atau diberi permen si B akan mengembalikan mainan. Bila anak sudah pada tahap yakin, berarti dia sudah paham konsep realistis
Tahap target: mulailah pasang target untuk anak dalam penyelesaian masalahnya. Hal ini penting agar anak paham tentang konsep ‘tuntas’dan ‘selesai’
Tahap Syarat: selain target waktu, hal berikutnya adalah memetakan(list) syarat yang wajib dipenuhi untuk pencapaian keinginan.
Tahap belajar: demi memenuhi syarat2 immaterial yang belum dimiliki tapi bisa diupayakan, bantu anak mempelajari hal-hal yang perlu dikuasai itu. Pertama pahami tujuan belajarnya, agar menjadi tahu, bisa, dan akhirnya mahir di bidangnya.
Bila menguasai  tahap analisis ego itu,  anak akan mampu membangun cita-cita dengan mantap.
 
Usia 10-12 tahun: membangun keterampilan menentukan perilaku(mengatur strategi).
Orang tua bertugas membantu anak-anak untuk mengerti dan terbiasa menyediakan diri untuk memberi. Bila ia ingin mendapat banyak, bila ia bersedia member, karena orang cenderung terbuka dan memberi kepada orang-orang yang dinilai suka memberi.

Usia 11-13 tahun: Program Asuh-Didik Tuntas, program pendampingan dimulai
Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara:
1.       Ing Ngarso Sung Tulodo. Di depan memberi  teladan. Adalah konsep pendidikan 0-6 tahun. Anak belum dituntut untuk ‘bisa’(tapi sebagai orang tua harus memberi contoh positif dong yaa)
2.       Ing Madyo Mangun Karso. Di tengah menjadi katalisator anak dalam berkarya. Konsep pendidikan 6-12 tahun.  Anak mulai dituntut untuk belajar sungguh2 dan menjadi ‘bisa’.
3.       Tut Wuri Handayani. Di belakang memberikan dorongan. Konsep pendidikan 11-13 tahun. Anak mulai mandiri berpikir, dan tidak lagi ‘teacher oriented’ seperti zaman SD dulu.

Bab keempat buku ini adalah buah pikir Toge. Pertama mengenai pengalaman masa kecil Toge yang rada berulah, tapi berhasil diatasi oleh sang nenek karena nenek merawat Toge dengan prinsip ‘menemani bermain’. Yang kedua statement kalo sekolah itu ‘perlu’ bukan ‘harus’. Yang ketiga adalah melatih anak mahir bertengkar(bernegosiasi). Yang keempat, membuat mindset anak bahwa makanan sehat itu enak. Yang kelima, ajari anak motorik kasar di usia emasnya. Seperti melukis, puzzles, adonan, memotong dan menggunting, urutin kotak bermacam ukuran, berlari, memanjat, melompat, bermain bola, dan memukul. 



Baca keseruan lain seputar keluarga. Plis klik: Housewife's diary

16 komentar:

  1. manfaat tulisannya mak diba.. untung ditulis online jadi pas aku punya anak, bisa blogwalking lagi dimari.. apapun pro dan kontranya, anak adalah tanggung jawab orang tua dalam mendidik dan memberi bekal untuk siap dilepas di universitas kehidupan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Metode apapun tetap kembali ke orang tua. Karena yg ditanya pertanggungan jawabnya kan orang tua.

      Hapus
  2. bukunya menarik, beliau ini profesinya apa ya mak ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Psikolog Mak. Dulu kalo ga salah konselor remaja gitu. Kayak guru BP gt

      Hapus
  3. substansi yang di sampaikan dalam buku bagus mak. tetapi untuk urusan mendidik anak itu kan harus disesuaikan dengan kondisi orang tua dan anaknya juga ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Inti dari pola pendidikannya adalah mengajarkan konsekuensi sejak dini. Ortu disuruh berpikir(parenthink) dan banyak2 intropeksi kalo anak bermasalah. Prinsipnya Ayah Edy juga sedikit banyak seperti itu.
      Apapun itu, tetap ortu yang lebih tau anaknya masing2. Buku seperti ini cuma semacam referensi aja

      Hapus
  4. Oh gitu ya pola mendidik anak 0-2tahun menurut Toge

    Salam kenal mak.
    Akuratu.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Intinya sih pola didik Ki Hajar Dewantara. Yang katanya pola pendidikan tsb dipakai di Swedia(atau negara mana gitu)

      Hapus
  5. Toge ini background pendidikannya apa ya? sekarang aku berusaha gak asal percaya sama apa yang ditawarkan orang baik dr internet atau buku.. sehingga berusaha tau background pendidikan/pengalaman orang yang menulis soalnya jaman skrg di Indonesia gampang banget buat buku dan sesuatu yang opininya dianggap keren bisa langsung laku.. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tambahan.. hihihi...
      Tentang ketrampilan memilih, ortu harus cerdas untuk ngasih pilihan.. yang sering aku terapkan kalau praktek: pilih tetap aku bur tapi terasa ngilu atau aku suntik dulu abis itu gak terasa ngilu (untuk pasien yang udah berani disuntik), jangan yes/no question..
      misalnya juga: pilih mandi sama bapak atau ibu? mau mandi sama bapak/ibu kan gak masalah.. yang penting anaknya tetep mandi.. :D

      Hapus
    2. Dia psikolog. Aku tertarik baca bukunya karena ikut milisnya beliau sm Mona Ratuliu yg parenthink itu. Pola pendidikannya itu mengikuti pola pendidikan Ki Hajar Dewantara.

      Hapus
  6. Lagi rame banget ya ngomongin Om Toge. Dari review nya sih menarik banget nih, Mak. Ngantre pinjem yak. Wkwkwkw. Gak modal. Buku nya cuma tulisan aja atau ada ilustrasinya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan aja mak. Duh, ni buku kayaknya masih ketinggalan di Lampung lagi

      Hapus
  7. saya baru tau nama penulisnya setelah ada kasus itu mak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Si bapak happening banget di milis parenthink. Milis yg dikelolanya sm Mona Ratuliu

      Hapus
  8. Baru ini aku tahu sinopsisnya buku oom Ge. Selama ini cuma belajar ngikutin dialog2 aja di milis saling belajar (cikal bakal milis parenting *cmiiw). Secara teori bagus, bisa diterapkan dg menyesuaikan pd kondisi masing2 keluarga :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung di lapak sederhana EDibaFREE. Komentar Anda akan sangat berarti buat kami...