27.4.09

DERITA SI MEDIT: Kereta Jakarta Jogja bagian 1


Naek kereta ekonomi?awalnya ga kebayang deh..kayaknya kutukan kalo naek kereta ekonomi. Yang dibayanganku adalah rame banget, penuh asap rokok, dan kadang gabung sama hewan ternak.
Namun anggapan ini dipatahkan seorang teman yang kebetulan sering bolak balik Jakarta-Jogja untuk menyambangi pujaan hatinya yang sedang mengadu nasib di ibukota. Katanya kereta ekonomi itu enak, selain murah, kita bisa bertemu banyak orang dan menambah kenalan. Selain itu, tiket kereta ekonomi sekarang sudah bisa dipesan, jadi menguntungkan sekali. Daripada naek bisnis, hampir 3 kali lipat harganya. Dari segi ketepatan waktu, kereta ekonomi ga jauh beda nyampenya ma kereta bisnis. Masalah ternak, katanya ga mungkin, soalnya udah ada kereta barangnya sendiri. Pokoknya dalam promosinya dia mengatakan, kereta ekonomi sekarang udah senyaman bisnis, istilahnya “Ekonomi kelas Bisnis”. Pada akhirnya aku membuktikan sendiri hingga sampai saat ini aku tetap menjadi pelanggan setia Bengawan. Ada aja pengalaman baru untuk diceritakan dalam perjalanan kurang lebih 11 jam ini.
1ST Vacation : Never Ending Journey
Ini adalah pengalaman pertamaku pulang ke Jogja naek kereta ekonomi. Sebagai karyawan baru, tentu aq mengalami sindrom homesick, bawaan kangen mulu ma Jogja. Karena selain ada keluargaku disana, pujaan hati belahan pantatq(upz.. jiwa maksudnya) juga masih berdomsili di Jogja.
Dari observasi yang kulakukan, dan info yang kukumpulkan, aku mulai merancang rute perjalananku sampai ke Jogja.Rute perjalanan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Naek angkot sampai Stasiun Serpong : Rp 3000 dari kantor, Rp 1000-1500 dari rumah
  2. Naek KRL ke Tanah Abang : Ekonomi: Rp 1500, Ciujung Rp 5000, Sudirman ga masuk hitungan (kemahalan)…
  3. Naek Kereta Bengawan yang ke Solo, tapi turun Lempuyangan, Jogja : Rp 38.000(sekarang 35.000)
  4. Minta jemput Mas : Gretong…
Adapun plot waktu yang aku planning:
  1. Naek krl Ciujung jam 18.10. Sampai Tanah Abang jam 18.55
  2. Berburu tiket kereta, terus solat jamak Magrib-Isya di Stasiun.
  3. Naek Bengawan jam 19.30
Krl Ciujung berangkat tepat waktu. Malam itu terasa sangat dingin karena keretanya sepi dan AC dengan semangat berhembus dengan temperatur 16 C. Ngantuk..tapi kemudian ada teman ngobrol, yaitu guru SD di BSD yang mau pulang ke daerah Bintaro. Beliau salut ma aku yang mau long journey sendiri. Kagak tau aja dia, batin ini udah kebat kebit bayangin pengalaman pertamaku nanti.
Akhirnya sampailah pada Stasiun Tenabang. Hilir mudik orang cukup ramai, aku celingak celinguk cari tempat tiket namun gayaku sok pede, itu resep jalan sendiri di daerah Jakarta. Katanya biar ga diisengin orang. Penduduk Jakarta kan “Ramah-ramah”...
Betapa terkejutnya aku ternyata tiketnya “sold out” alias tempat duduk habis. Mulai panik mode on nih...dengan hati-hati aku bertanya sama Bapak Loket.
“ Pak, tempat duduknya habis ya?tiketnya juga habis?”
“ Kalo tiketnya masih ada,mau berapa?” si bapak loket berkata
“Mau satu aja kok pak..” perasaanku udah panas dingin..ga dapet duduk?terus berdiri??bisa keriting ni betis..
Suasana semakin panik ketika banyak anggota keluarga serta beberapa teman yang mengetahui perjalanan nekatku mulai mengkhawatirkanku. Ibuku berjanji untuk berdoa sepanjang malam sampai aku benar-benar selamat sampai Jogja. Masku terus SMS. Entah apa yang dipikiran mereka, mudah-mudahan hal buruk yang dikhawatirkan ga kejadian. Aku masih optimis bisa menikmati perjalanan ini.
Pukul 19.15 kereta sudah tiba di tempat. Gerombolan orang mulai mendorongku. Suasana ini masih bisa kukendalikan sehingga aku tidak sampai terjatuh. Aku asal duduk aja, ternyata mbak yang duduk di depanku juga aslinya ga dapet duduk. Katanya, cuek aja, kalo diusir baru pergi. Aku nurut aja. Tepat 19.35 kereta berangkat. Sampai Manggarai semua aman. Namun begitu sampai Jatinegara rombongan orang dengan jumlah tidak sedikit menyerbu pintu kereta yang hanya selebar bahu orang dewasa. Dan malangnya, ternyata singasanaku ada yang punya. Yaitu seorang ibu dengan anak perempuannya serta seorang pria berkemeja yang aku yakin baru pulang kerja. Dengan wajah pasrah akupun berinngsut pergi, tapi di cegah si pria. Katanya..
“Udah, duduk aja, ga papa..saya mau keluar dulu. Ngerokok..”
Alhamdulillah ada dewa penolong. Kalo kepaksanya dempet-dempetan ga papa lah..daripada di bawah diinjak pedagang asongan..Singkat cerita, kursi yang diperuntukkan untuk 3 orang, kami pakai berempat. Tempat duduk di depanku juga setali tiga uang. Ditempati oleh sepasang kakek nenek beserta anak lelakinya. Dan salah seorang penumpang yang maksa duduk, yaitu bapak berjaket biru yang mirip jaket almamater universitas apa gitu deh..
Suasana malam itu begitu hangat. Semua saling berkenalan dan bercerita masing-masing. Ibu dan gadis disebelahku ternyata penjual baju batik. Mereka back to Solo karena mau grosir batik di pasar klewer. Dasar pedagang, sempet-sempet aja ni ibu nawarin kita. Si gadis masih kalem banget, tapi si ibu terus saja nyerocos, katanya dia ke Solo cuma nemeni anaknya grosir baju, yang jualan nanti anaknya. Terus katanya lagi anaknya itu lulusan arsitektur dan udah berkeluarga. Anaknya satu pula. Hmm, aku rada heran aja, wong punya suami dan anak, koq malah jalan-jalannya berdua thox ma ibunya. Yah, mungkin inilah yang namanya hidup. Penuh perjuangan dan terkadang harus berpisah dengan keluarga.
Si bapak jaket biru, mulai mempresentasikan dirinya(apaan coba??). Dia beercerita tentang dirinya yang sudah merantau ke Jakarta dari tahun 80an. Dia ceritakan perjalanan hidupnya dari nothing menjadi something. Seru banget..
Nah, sekarang tiba saatnya pria berkemeja yang duduk di sebelahku bercerita. Dia bilang kerja di perusahaan telekomunkasi. Sudah beristri dan punya satu anak. Tempat ttinggalnya di perumahan elit Jakarta. Wah, kupikir beruntung sekali bisa bersuamikan orang seperti ini. Selain masih muda, tampan, sepertinya dia juga orang yang baik hati.
Lalu giliranku bercerita tentang diriku. Ibu tukang batik mengira aku adik si pria berkemeja. Iya sih, diliat-liat ni cowok persis bapakku masih muda dulu. Berarti aku cantik dong??ha..ha..ha(narsis mode on). Aku jujur kalo aku baru sebulan di Jabotabek. Langsung deh bapak berjaket almamater menceramahiku..
“Hidup di Jakarta itu kudu telaten, harus pinter mengambil peluang. Tunggu deh 8 tahun aja, kalo bertahan kamu jadi orang sukses..”
“Amin...” Aku sih berharap demikian.
Pasangan kakek nenek dan anaknya yang duduk di depanku msih asyik memposisikan dirinya di tempat yang paling wenak. Si nenek mengeluh ga bisa ke wc karena wcnya ditempatin orang. Satu ilmu baru buatku. Kalo ga dapet tempat duduk, ambil posisi di wc aja. Dijamin kok kalo wc kereta ekonomi itu ga pesing. Wong dipake aja ga bisa.
Oh ya, dibawah banyak sekali orang yang duduk lesehan. Ada sepasang suami istri yang wajahnya ditekuk. Sedikit-sedikit si suami merutuki nasibnya yang harus duduk lesehan.
“Ngerti mau mending aku numpak bis. Koq iso-isone aku ra entuk panggon sih..”(Ngerti gitu mending aku naik bis. Koq bisa2nya aku ga dapet tempat)
Pandangan kualihkan. Kali ini ada sewujud manusia yang casingnya mirip banget kayak pelawak Polo. Ternyata bukan hanya dari wajah mereka mirip. Kelakuan mereka juga sama. Konyol dan mengundang gelak tawa. Dalam kondisi kereta sepenuh itu, pedagang asongan cukup enggan masuk. Kalopun nekat masuk harus lepas alas kaki. Kondisi ini membuat kembaran Polo merasa kesepian..
“Koq keretane sepi to..g a full music. Kene aku tak nyanyi..” Waduh!mau nyanyi ap nih???
“Akua..akua..mijon..mijon...rokok..rokok..tisu..kopi..susu..jahe..” Halah! ternyata niruin orang yang jualan. Suaranya persis banget. Kayaknya bekas pedagang asongan deh. Setelah itu dia mewanti-wanti seluruh lelaki di gerbong itu untuk tidak merokok, karena kebetulan hari itu anak kecilnya banyak. Terima kasih Pak Polo, karena dia, aku tak perlu sesak menghirup asap rokok. Tepat pukul 10 acara lawak bersama Polo gadungan di hentikan. Beliaunya mau “ngamar”, alias rebahan di kolong kursi. Tidurnya kayaknya enak banget. Benar-benar masternya penumpang Ekonomi. Kereta udah kayak rumah aja.
Waktu terus berjalan..kereta pun terus melaju. Tak terasa sudah sampai Cirebon. Aku tak bisa tidur. Dengan kondisi duduk seperti itu, ditambah aku masih was-was copet, alhasil aku terus aja melek ga bisa merem. Si pria berkemeja yang tadi dikira kakakku juga tidak bisa tidur. Ya, mana mungkin bisa tidur, wong dikit-dikit kepalanya kesenggol pedagang asongan. Malam itu, kami pun berbincang-bincang selagi semua terpejam(ga tau pada tidur beneran pa ngga). Dalam ceritanya tampak kalau dia sangat mengagumi istrinya. Dia bilang istrinya wanita hebat. Walo pendidikan dan gajinya lebih besar dari suami, tapi sedikitpun tidak mempermasalahkan. Si pria sedang menyelesaikan s2 nya, dan biayanya itupun ditanggung istrinya. Salut deh..
Kalo tadi aku berpikir beruntung mendapatkan suami seperti pria ini, sebaliknya sekarang aku ngerasa pria ini beruntung banget bisa dapet jodoh wanita sehebat itu.
Katanya, jangan percaya omongan orang di kereta. Tetapi nyatanya, istrinya memang sehebat yang aku kira. 1/3 malamnya dihabiskan untuk tahajud. Tepat pukul 4 dia menelpon si suami, menanyakan keadaan, dan si suami balik bertanya keadaan si istri. Sebuah perbincangan yang benar-benar harmonis. Aku salut sama mereka, masing-masing rela dengan keadaannya, si suami yang kalah finansial dari istri tapi tetap legowo menerima keadaan itu, dan si istri yang ga neko-neko cari yang lain, padahal kalo mau cari yang lebih dari si suami juga bisa.. Betapa indah bila kita bisa mengejawantahkan cinta...Pandangan lalu kualihakan pada pasangan kakek nenek. Sesekali si nenek mengambilkan minum kakek yang terbatuk-batuk. Cinta mereka telah teruji, sampai usia senja mereka masih bersama, saling mengisi satu sama lain. Oh indahya, aku ingin romantisme bersama masku sekarang tidak hanya terjadi saat ini saja. Aku mau cinta kami meruntuhkan perbedaan, seperti yang dialami pria berkemeja, serta tetap kokoh sampai tua seperti kakek dan nenek itu.
Dalam semalam aku merasa mendapat banyak ilmu. Terutama si pria berkemeja yang menasehatiku banyak hal. Kereta sudah sampai kutoarjo. Tandanya aku harus menghubungi masku agar siap-siap menjemputku. Sialnya batere hapeku habis. Terpaksalah meminjam hp pria berkemeja. Sempat pula dia menawarkan PDAnya(waduh, kalo jadi dipenjemin juga aku ga bisa pake..). Singkat kata aku sampai di Jogja. Ternyata dari Wates ke Jogja hampir sejam ya kalo naek kereta ekonomi??kasian masku harus nunggu lama di Lempuyangan.
Masalah tak cukup disitu. Ups.. koq bisa ya aq turun di Tugu???harusnya kan aku turun lempuyangan, kok ini malah turun di Tugu??dalam sejarah perkereta apian Jogja, mana mungkin kereta ekonomi berhenti di Tugu. Lama lagi..Waduh...masku yang dah lumutan nunggu di Lempuyangan terpaksa putar balik goes to Tugu..wajahnya ditekuk-tekuk sebel ma aku..ya..maaf mas..namanya juga pengalaman pertama.
Dedicated to “Pria Berkemeja”, yang sampai saat ini aku belum bisa penuhi janjiku bertandang ke rumahmu..nomormu ilang je...

1 komentar:

  1. wah ceritanya bagus banget mba..saya juga pengen ke jogja nih , ke rumah temen. kisah dan info yang sangat menarik... :D

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung di lapak sederhana EDibaFREE. Komentar Anda akan sangat berarti buat kami...